My Motivation

Dalam hidup, tidak semuanya mudah, namun saya percaya, seperti yang diajarkan oleh Orang Tua saya & mungkin semua orang tua di semua penjuru dunia, bahwa tekad, niat & kemauan dapat menjawab ketidak mudahan itu, dan tentu saja, motivator dalam hidup, tentu harus ada, keluarga adalah motivator tebesar saya, sebab dalam keluarga lah kita memulai menggali surga

Kamis, 07 Mei 2015

” Pathil Lele ” di Masa Kecil Kami

Saya pernah mengirimkan naskah ini untuk sebuah kompetisi, tapi sepertinya tidak menang .... hehehe ... belum beruntung ya ... jadi daripada sayang cuman di simpan, saya putuskan untuk men - share nya ... berikut ini ...


” Pathil Lele ” di Masa Kecil Kami

Suatu hari seseorang menyapaku di jalan, aku tertegun lama, menebak-nebak dalam pikiranku, ” siapa dia ?? dia memanggilku, berarti dia mengenalku ?? tapi ... dia memanggil nama kecilku, jadi dia pasti ... ” Lalu, ada sebuah tanda yang kemudian seolah menjadi pencerah, serasa ada lampu bohlam menyala di atas kepalaku. ” ahaa ... luka itu, luka di jidatnya ... tidak di ragukan lagi ... ” aku pun membalas sapaannya, sudah sekian lama sekali tidak bertemu, dia memintaku meluangkan waktu sejenak untuk ngobrol, dia pun mentraktirku di sebuah warung makan.

Banyak hal yang kami bicarakan, serius atau hanya sekedar kelakar, fakta maupun gosip, seperti umumnya jika dua wanita bertemu, apalagi telah lama tidak saling memberi kabar. Termasuk luka di jidatnya yang membuat ku ingat akan dirinya. Saat membicarakannya, kami jadi semakin asik dengan masa lalu.

” Thak ...!! thak ...!! thok ...!! wuuuzzzzzz ....!! ”

” wah ... pukulanku sepertinya tepat !! ” bisikku dalam hati, mataku pun awas memperhatikan gagang yang baru ku pukul. Semakin melambung, aku pikir itu pasti pukulan yang jitu. Tapi kemudian ...

” Plakk ... !!! ”

” Aduh ... !!! ”

”Ya ampun, kenapa itu ?? Wah, berdarah ... ”

Aku sangat takut, gagang yang kupukul mengenai jidat teman lawan mainku. Permainan pun terhenti. Kami semua segera menghampiri, berusaha menolongnya semampu kami. Salah seorang dari kami mengambil air dari kamar mandi Musholla untuk menmbersihkan lukanya, kemudian kami menyuruh nya melepas kaos dalam nya untuk membebat luka di kepalanya & memakai kembali baju luarnya. Rasa takutku berangsur hilang, sebab tidak seorang pun menyalahkan aku & temanku tidak menangis, kami malah tertawa masal setelah luka temanku di bebat dengan kaos dalamnya.

” hahaha ... coba ngaca di jendela musholla tuh, ayo ... !! ”, kami semua beranjak mendekati jendela musholla, lalu kembali tertawa masal, ” hahaha ... kayak Pangeran Diponegoro ... yang gambarnya di buku PSPB itu ... ”

” ah, tapi Pangeran Diponegoro kok perempuan ?? ” temanku mengelak, dengan muka nya yang cemberut, kami diam sejenak, menghentikan tawa kami, namun sekejap kemudian kami tertawa kembali lebih keras ...

Begitu sederhana, damai & toleransi, begitulah aku & temanku mengenangnya di warung makan itu, waktu itu.

” Kalau jaman sekarang, pasti sudah tawur tuh, kayak begitu ”

” Iya, kamu dulu, malah enggak nangis sama sekali ?? memang enggak sakit ?? ”

” ya sakitlah, cuman malu, di depan banyak anak, main juga sama-sama, masa begitu saja nangis, toh kamu enggak sengaja kan ?? ”

” hahaha ... ya kamu kan perempuan, halus perasaannya .... ”

” ah, enggak ada hubungannya ... ”

” tidak di sangka, ternyata lukanya cukup dalam ya, dari kecil sampai sekarang kamu sebesar ini, bekasnya tidak bisa hilang ”

” hehe ... iya, anakku juga sempat bertanya kening bundanya kenapa kok ada tandanya, saat aku bilang kena gagang pathil lele, mukanya berubah jadi seperti bingung, mungkin karena dia tidak tahu pathil lele itu apa ..., kapan ya bisa main pathil lele lagi ?? jadi kangen sama masa lalu ya kalo di ingat-ingat ?? ”

” hehehe ... iya ”

Pathil Lele adalah permainan yang sering kami mainkan di masa kecil. Sepulang sekolah, kami selalu berkumpul di halaman Musholla kampung kami yang memang cukup luas. Pathil Lele dimainkan secara berkelompok. Kami bertujuh membagi diri kami menjadi 2 kelompok, 1 orang yang tidak menjadi anggota biasanya menjadi juri atau pemain cadangan.

Alat permainannya adalah dua gagang kayu dengan panjang yang satu dua kali lebih panjang dari satu yang lainnya. Yang lebih panjang kami gunakan sebagai pemukul, sementara yang lebih pendek sebagai obyek yang dipukul. Biasanya kami memakai gagang sapu ijuk bekas.

Di masa kecil kami, tidak mudah mendapatkan gagang sapu ijuk bekas, jadi kami mengambil paksa sapu ijuk milik Musholla yang masih dipakai, betapa kami masih mengingat ketika Guru Mengaji kami sangat geram memarahi kami saat beliau tahu kami mengambil milik Musholla untuk mainan. Namun entah apa yang ada di benak kami, saat alat pathil lele kami hilang entah kemana, padahal kami sudah menyembunyikannya sedemikian rupa, kami mengulangi hal yang sama, mengambil sapu ijuk Musholla. Bukannya apa-apa, bukannya kami tidak berusaha, kami sudah mencoba menggunakan ranting pohon, namun kurang mantap hasil pukulannya, karena mungkin kurang berat. Kami memotong gagang sapu ijuk dengan pisau dapur yang kami tempa dengan batu besar, supaya lekas terpotong. Hal itu pun sering kali membuat ibu kami mengomel, tapi sepertinya kami tidak pernah benar-benar menghiraukannya.

Cara memainkannya cukup mudah sebenarnya, namun juga agak berbahaya, sebab bisa saja terjadi kecelakaan seperti yang di alami teman saya, apalagi kadang karena terburu bermain, kami tidak menghaluskan bekas potongan pada ujung gagang, hal itulah yang menggores jidat teman saya. Kami menyandarkan gagang kayu yang lebih kecil di atas tumpuan batu bata dengan posisi kayu berdiri & agak miring, lalu kami memukulnya dengan pemukul yaitu gagang kayu yang lebih panjang. Pukulan dijatuhkan tepat di atas ujung kayu yang mendongak ke atas, lalu saat gagang kayu terpelanting naik, pukul kembali dengan gerakan back hand ke arah atas, sekeras & sejauh mungkin, supaya dapat melampaui batas lawan & lawan tidak dapat menangkapnya. Setelah pukulan mendarat sukses (sangat jauh & tidak tertangkap lawan), maka mulai menghitung antara jarak pendaratan pukulan dengan posisi batu bata. Pemain dalam satu kelompok bergantian untuk melakukan pukulan itu. Sementara, tugas kelompok lawan adalah menghalau supaya pukulan pemain tidak sampai jauh, jadi kelompok lawan harus berusaha dengan gigih untuk menangkap gagang yang dipukul oleh pemain. Saat gagang berhasil ditangkap kelompok lawan, maka kelompuk pemukul tidak mendapatkan nilai & giliran memukul pun berganti. Begitulah seterusnya, sampai kami putuskan untuk menyudahi permainan & menghitung total poin kami.

Cara menghitung poin adalah dengan metode Depa. Jadi, jarak antara posisi pendaratan gagang yang dipukul dengan posisi batu bata di bagi dengan panjang gagang kayu. Teknisnya biasanya kami lakukan dengan mendepa & memberi tanda sambil menghitung dengan posisi berjongkok, untuk saat ini, karena sudah tidak terlihat anak-anak yang memainkannya, mungkin agak susah dibayangkan. Hasil perhitungan itulah poin yang diperoleh. Yang memperoleh poin lebih banyak, kelompok itulah pemenangnya. Biasanya, sebagai hukuman, kelompok yang kalah akan menggantikan tugas piket kelompok yang menang di Musholla pada waktu mengaji sore harinya.

Semakin di ingat, semakin rindu dengan masa-masa itu. Tidak pernah saya mengingat sebaik saya mengingat tragedi itu. Itu adalah tragedi yang paling menakutkan buat saya. Sampai sekarang pun saya masih mengingatnya. Kadang jadi tertawa sendiri, tapi itulah masa kecil kami.

” dulu, waktu terasa lama ya ?? dari pulang sekolah sampai habis Ashar mau ngaji, kita masih sempet main berbabak-babak pathil lele, iya kan ?? ”

” iya, sampe pernah main sama kelompoknya Amir, ingat tidak ?? yang beda sekolah sama kita, terus kayu kita di rampas gara-gara kelompok dia kalah ?? ”

” aaahhh .... iya, masih ... masih ... aku masih ingat !!! iya, sebal ya ?? tapi waktu itu, kenapa kita diam saja ya ?? nangis kah, lempar mereka pakai batu kah, mengadu kah ... ”

” ah, jaman kita dulu mana ada sih yang kayak begitu, memang pas kamu pulang ke rumah, terus ibu kamu tau luka di kepala kamu, ada yang terjadi ?? enggak kan ?? ”

” ya itu karena ibu ku sudah paham banget, kalau main ya main, urusan permainan sama teman-teman, ya tanggung jawab ... kira-kira begitu lah ... ”

” hehehe .... ” aku tersenyum mendengarnya

” kalau anak sekarang sih, cengeng !!, tuh anakku di rumah, enggak pernah mau main sama temen-temennya, katanya takut dinakalin, tapi memang nakalnya sudah agak keterlaluan sih mereka ”

” hari gini .... mainannya mahal-mahal, enggak semua orang mampu beli, gimana anak-anak enggak ribut terus kalau main ?? yang enggak punya enggak boleh pinjem, atau boleh pinjem tapi harus tunggu dulu kalau sudah kelar dipakai, kan sebal ?? ”

” sudah beda genre nya ya memang ?? ”

” he eh ... ”

” By the way, kenapa di sebut Pathill Lele sih ?? ”

“ ya mungkin karena kalau sudah kena jidat, rasanya kayak kepathil sama ikan lele kali … “

“ hahahaha … “ kami tertawa bersama, tawa yang sudah lama tidak kami rasakan bersama.

Setelah cukup lama & kami merasa sudah waktunya melakukan hal yang lain, kami pun saling berpamitan undur diri. Kami berpisah di depan warung makan itu. Dalam perjalanan pulang, masa kecil yang ku bincangkan tadi rasanya belum lepas dari benakku, aku masih tersenyum-senyum, manggut-manggut, sekilas ide melesat ” ahhh ... andaikan ada pintu kemana saja yang bisa mengantar ke waktu itu, aku ingin melihat sebentaaarrr saja ... kangen kalian .... ”

” Mungkin sama halnya dengan kalian saat ini, dimanapun, seperti apapun ... menua itu pasti, demikian juga perubahan ... namun semoga saja kita masih mengingat hal yang sama, masa itu, di sana, kita semua, yang pada akhirnya membawa kita pada hari ini, saat ini ... ”







penulis